Pasangan suami istri alias Pasutri di Bandung, Dewi Widya dan Yahya bin Zakaria ini sebenarnya punya karier yang stabil di sebuah BUMN. Hidup mereka pun mapan. Bahkan Dewi baru saja mendapat promosi untuk karier yang dimulai sejak 2013.
Namun kemapanan itu mereka tinggalkan demi anak-anak bisu tuli. Mereka mengasuh, mendidik dan mengajar, full time. Bukan anak kandung, melainkan anak-anak yang Dewi dan Yahya temui dalam perjalanan hidup mereka.
Dewi dan Yahya pun mencurahkan waktu, tenaga, pikiran, dana serta banyak hal yang mereka punya untuk anak-anak bisu tuli itu. Anak-anak yang tidak diasuh sebagaimana mestinya oleh orangtua kandung, karena ketidaktahuan atau ketidakpedulian.
| Baca Juga : Cinta Mati, Wanita China ini Rela Bayar Utang Mendiang Pacar
”Jadi ketika memutuskan resign, banyak yang menyayangkan. ’Lu gila ngambil putusan ini. Ya saya jawab, ’Iya, emang gila. Emang tergila-gila sama mereka (anak-anak bisu tuli, red),” kata Dewi kepada Nyata, di Cisarua, Bandung, Sabtu (12/4) lalu.
Sebenarnya Dewi dan Yahya tidak memiliki keluarga yang berkebutuhan khusus. ”Nggak ada sama sekali. Ya tiba-tiba saja mengubah mindset. Memilih hidup jadi pengabdi,” tutur Dewi. ”Punya hidup yang lebih bermanfaat. Mengasuh anak-anak difabel ini jauh lebih bermanfaat. Dan kami sudah mantap,” timpal Yahya.
Dua tahun setelah Dewi dan Yahya resign, tepatnya tahun 2015, mereka mendirikan Maktab, yang artinya rumah belajar dan setara dengan madrasah. Mereka mengajar, mengasuh dan mendidik anak-anak tersebut. Bahkan Dewi dan Yahya belajar bahasa isyarat secara khusus agar bisa berkomunikasi dengan mereka.
| Baca Juga : Retina Rusak, Istri Jadi ‘Mata’ Suami Demi Lulus Doktor Bareng di ITS
Pengabdian Dewi dan Yahya untuk anak-anak bisu tuli itu berawal ketika mereka menjadi relawan masjid. Mereka bertemu teman-teman difabel tuli. ”Kami pernah datang ke Majelis Taklim yang pesertanya teman-teman difabel tuli. Mereka orang dewasa dan lansia,” kata Yahya.
Suatu ketika saat dakwah ke Bandung, Yahya bertemu pelajar SMP sedang iktikaf atau berdiam diri di masjid. Ia bisu tuli dan tidak ada penerjemah, sehingga tidak mendapatkan apa-apa. ”Dari situ timbul keinginan mengedukasi anak-anak difabel,” kata Yahya.
Dari kegiatan itu, Pasutri asal Bandung itu mengetahui apa yang dialami para difabel itu. Kendala-kendala yang dirasakan. Kemudian mereka pun memantabkan diri mendirikan sekolah, yang terbuka untuk anak-anak, mulai usia tujuh tahun. (kri)
Kisah selengkapnya baca di Tabloid Nyata Cetak edisi 2803, Minggu ke IV, April 2025