Ujung Tanjung, – Sidang pemeriksaan perkara perdata khusus lingkungan hidup dengan nomor registrasi 2/Pdt.Sus-LH/2025/PN Rhl yang diajukan oleh Yayasan Wahana Sinergi Nusantara (Wasinus) terhadap H Bistamam dan turut tergugat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Rokan Hilir (Rohil) pada Rabu (16/4/2025). Agenda persidangan kali ini adalah penyerahan jawaban dari pihak Tergugat dan Turut Tergugat.
Majelis Hakim yang diketuai oleh Nurmala Sinurat, SH, MH, dengan anggota Aldar Valeri, SH dan Nora, SH, serta Panitera Baginda Sultan Firmansyah, SH, memimpin jalannya persidangan yang berkaitan dengan sengketa lahan perkebunan kelapa sawit seluas 895 hektar di Kepenghuluan Rantau Bais, Kecamatan Tanah Putih, Rohil.
H Bistamam yang diwakili oleh tim Kuasa Hukum yang terdiri dari Cutra Andika Siregar, SH, MH, Masridodi Manguncong, SH, Rahmad Hidayat, SH, dan rekan, mengajukan eksepsi terhadap gugatan Penggugat. Selain itu, pihak Tergugat juga mengajukan jawaban atas pokok perkara dan melayangkan gugatan balik.
Dalam eksepsinya, Kuasa Hukum Tergugat mendalilkan bahwa gugatan yang diajukan oleh Yayasan Wasinus mengandung cacat error in persona. Mereka berpendapat bahwa Penggugat keliru dalam menarik pihak Kementerian Lingkungan Hidup sebagai Turut Tergugat, mengingat adanya perubahan nomenklatur kementerian berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 139 Tahun 2024. Perpres tersebut memisahkan Kementerian LHK menjadi dua kementerian, yaitu Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Selain itu, Cutra juga menilai gugatan Penggugat cacat formil karena kurang pihak. Mereka menjelaskan bahwa H Bistamam hanya menguasai sebagian kecil dari lahan sengketa, yakni seluas 6 hektar. Sementara itu, sisa lahan seluas 889 hektar dikuasai oleh masyarakat setempat dan pihak-pihak lain. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, pihak Tergugat memohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.
Pada jawaban atas pokok perkara, Cutra menjelaskan sejarah kepemilikan lahan sengketa. Mereka menyebutkan bahwa lahan tersebut awalnya merupakan tanah garapan masyarakat setempat yang telah dikelola secara turun temurun sejak tahun 1930 dan memiliki surat alas hak dari Penghulu Rantau Bais yang diterbitkan pada tahun 1981 dan 1983. H Bistamam sendiri baru mulai mengelola lahan seluas 6 hektar sejak tahun 1992 dengan menanam kelapa sawit, dan baru mengurus surat alas hak kepemilikannya kepada Penghulu Rantau Bais pada tahun 2018.
Pihak Tergugat juga menyinggung Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, serta Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Mereka menekankan bahwa dalam menetapkan kawasan hutan, pemerintah tidak boleh bertindak sewenang-wenang dan harus memperhatikan hak-hak masyarakat yang ada di dalamnya.
Kuasa Hukum Tergugat juga menyoroti Undang-Undang Cipta Kerja yang memberikan peluang legalisasi bagi lahan yang telah digarap masyarakat di dalam kawasan hutan melalui kebijakan “keterlanjuran”. Cutra menjelaskan bahwa H Bistamam bersama masyarakat setempat telah mengajukan permohonan kepada Kementerian Kehutanan pada tahun 2022 untuk mengeluarkan lahan sengketa dari kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan.
Lebih lanjut, H Bistamam telah mengajukan permohonan inventarisasi dan verifikasi percepatan penyelesaian penguasaan tanah dalam rangka penataan kawasan hutan kepada pihak terkait pada tanggal 30 September 2024. Tim Inventarisasi dan Verifikasi kemudian mengeluarkan Berita Acara yang merekomendasikan agar lahan garapan masyarakat tersebut dikeluarkan dari kawasan hutan karena telah dikuasai lebih dari 20 tahun dengan itikad baik, sesuai dengan Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2021. Berdasarkan hal tersebut, Kuasa Hukum Tergugat memohon agar gugatan Penggugat ditolak seluruhnya.
Dalam gugatan baliknya, pihak Tergugat memohon kepada pengadilan untuk menyatakan H Bistamam berhak diprioritaskan dalam memperoleh kebijakan dari Kementerian Kehutanan terkait pengeluaran lahan sengketa dari kawasan hutan.
“Meminta agar Penggugat dihukum untuk tidak melakukan tindakan apapun terhadap lahan sengketa selama proses kebijakan tersebut berlangsung, dengan ancaman denda paksa (dwangsom) sebesar seratus juta rupiah jika melanggar putusan pengadilan,” ujar Cutra Andika.