Kisah Anak ART Lulus Doktor Tercepat dan Termuda di UGM

11 hours ago 6
 UGMDewi Agustiningsih dinobatkan sebagai lulusan doktor tercepat dan termuda di Universitas Gadjah Mada (UGM). Foto : UGM

Keterbatasan ekonomi bisa menjadi tantangan, namun tidak bisa menjadi penghalang utama untuk meraih prestasi. Hal itu dibuktikan Dewi Agustiningsih. Kisahnya mungkin bisa menjadi inspirasi banyak orang.

Dia menjadi salah satu dari 92 doktor yang diwisuda Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Rabu (23/04/2025) lalu.

Dewi, sapaan akrabnya, berasal dari Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dinobatkan sebagai lulusan tercepat dan termuda.

Jika rerata masa studi program doktor adalah 4 tahun 7 bulan, Dewi berhasil lulus dengan masa studi 2 tahun 6 bulan 13 hari.

Selain menjadi lulus doktor tercepat, Dewi Agustiningsih juga menyandang predikat sebagai wisudawan doktor termuda karena berhasil menyelesaikan studi pada usia 26 tahun 6 bulan. Sementara rerata usia lulusan Program Doktor kali ini adalah 42 tahun 6 bulan 16 hari.

| Baca Juga : Janice Felicia, Anak Down Syndrom Berbakat yang Sukses Rilis Lagu

Saat ini, ia telah bekerja sebagai dosen Program Studi Kimia di Institut Teknologi Bandung (ITB). Dewi adalah alumnus prodi Kimia UGM jenjang sarjana pada tahun 2020, yang kemudian menyelesaikan studi magister dan doktoral di kampus yang sama pada tahun 2022 dan 2025.

Dewi mengawali kuliahnya pada tahun 2016 lewat bantuan beasiswa Bidikmisi saat itu. Setelah lulus sarjana pada tahun 2020, Dewi kembali menerima beasiswa Program Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU).

Program ini memberikan percepatan bagi sarjana unggulan untuk menempuh S2 dan S3 sekaligus.

“Awalnya, saya tidak menyangka bisa sampai di jenjang doktoral. Tapi setelah menyelesaikan S1, saya mendapatkan kesempatan mengikuti seleksi program PMDSU, dan bersyukur diterima,” ujar Dewi, dikutip dari laman resmi UGM.

Di Pendidikan doktor, disertasinya membahas mengenai sintesis dan pengembangan material katalis berbasis material anorganik, khususnya untuk aplikasi reaksi organik seperti reaksi cross-coupling.

| Baca Juga : Aksi Heroik Supir Bus Wanita Korea ini Selamatkan Siswi China

Dalam penelitian itu Dewi memodifikasi material berbasis silika dan titania dengan senyawa organosilan dan logam transisi untuk meningkatkan aktivitas dan kestabilannya sebagai katalis heterogen.

“Tujuannya adalah menghasilkan material yang bisa digunakan untuk sintesis senyawa-senyawa penting, namun dengan metode yang lebih ramah lingkungan dan efisien,” tuturnya.

Tantangan terbesarnya dalam menempuh pendidikan hingga menyelesaikan pendidikan doktor adalah persoalan keterbatasan ekonomi.

Dewi bercerita bahwa saat masih berkuliah S1, ia mendapatkan uang saku Rp600 ribu perbulan yang  harus diatur agar cukup untuk kos, makan, dan kebutuhan perkuliahan.

Maklum, ayah wanita asal Kelurahan Tukangkayu, Banyuwangi itu hanya seorang sopir tidak tetap dengan pendidikan terakhir SMP.

| Baca Juga : Kisah Muhammad Agung, Penyintas Brachial Plexus Injury yang Sering Dibully

Sementara ibundanya hanya mengenyam pendidikan hingga SD dan bekerja sebagai asisten rumah tangga.

Saat saudara tertuanya masih sekolah, ayahnya masih bekerja. Namun, saat ia memasuki bangku kelas 2 SMP, ayahnya pensiun. Sejak saat itu Dewi mengaku berat dalam berjuang terutama dalam hal pendidikan.

Meski hidup dalam keterbatasan, Dewi memiliki semangat belajar yang tinggi. Sejak kecil, ia gemar bertanya tentang fenomena alam dan memiliki ketertarikan mendalam pada sains, terutama kimia.

Dewi sadar bahwa pendidikan adalah kunci untuk mengubah kehidupannya dan membanggakan orang tuanya.

Perjalanan akademik Dewi tak selalu mudah. Salah satu titik balik dalam hidupnya terjadi ketika ia mendengar seseorang meremehkan kemampuannya untuk menempuh pendidikan tinggi hanya karena latar belakang ekonomi. (*)

Read Entire Article
Kerja Bersama | | | |