Kartini masa kini memang tak lagi melawan penjajah dengan mengangkat senjata. Tetapi bagaimana wanita berhasil menjadi pelopor di segala lini kehidupan. Termasuk di bidang sains dan teknologi. Tak berlebihan rasanya jika kartini hebat itu disematkan untuk Sastia Prama Putri.
Sebab di antara dominasi pria, dia menjadi wanita non-Jepang satu-satunya yang menjadi ilmuwan di Osaka University. Serta menjadi orang asing pertama yang meraih Ando Momofuku Award 2024 kategori Invention Discovery Encouragement Award.
Sebuah penghargaan bergengsi yang diberikan melalui amal wiyata pendiri Nissin Food Holdings, Ando Momofuku, bagi peneliti-peneliti untuk karya riset dan inovatif di bidang pangan, gizi dan nutrisi. Sastia, sapaan akrabnya mengalahkan dominasi peneliti Jepang atas risetnya tentang tempe.
“Sebenarnya bisa mendapatkan penghargaan itu adalah sesuatu yang aku nggak pernah bayangin sebelumnya. Karena itu penghargaan yang paling prestisius di bidang food science. Alhamdulillah aku menjadi penerima orang asing pertama yang dapat penghargaan tersebut. Karena selama ini hanya diberikan ke peneliti Jepang saja. Walaupun aku bukan orang Jepang tapi karyanya bermanfaat juga nantinya untuk masyarakat Jepang,” kata Sastia Prama Putri kepada Nyata, belum lama ini.
| Baca Juga: Retina Rusak, Istri Jadi ‘Mata’ Suami Demi Lulus Doktor Bareng di ITS
Selama ini tempe dikenal sebagai sumber protein nabati dan kaya nutrisi. Termasuk serat, vitamin B, zat besi, kalsium, dan magnesium. Namun ternyata ada manfaat baru dari tempe. Yakni bisa menurunkan kadar kolesterol.
Sastia melalui penelitiannya itu berhasil mengungkap kandungan meglutol, senyawa aktif yang belum pernah dilaporkan ada di dalam tempe. Konsentrasi meglutol pada tempe sebesar (21,8 ± 4,6 mg/100 g).
Untuk bisa mendapatkan manfaat itu, tempe sebaiknya diolah dengan cara dikukus atau tanpa minyak. Kendati demikian, wanita berusia 42 tahun itui masih melakukan penelitian lanjutan guna memastikan pola konsumsi tempe yang efektif menurunkan kolesterol.
”Kami baru mau uji ke situ sekarang. Tapi untuk konsumsi tempe harian bagus saja. Tapi jangan dalam bentuk digoreng atau direbus terlalu lama nanti meglutolnya hilang. Dalam 200 gram tempe itu cukup meglutolnya. Untuk uji seberapa banyak, berapa durasi, itu belum dilakukan,” ungkapnya.

Penelitian ini turut membuka keran ekspor tempe Indonesia ke Jepang. Sastia mengajak rumah Tempe Azaki di Bogor menyalurkan tempe-tempe lokal ke 950 supermarket di seluruh Jepang.
“Mengingat konsumsi tempe di Jepang masih sangat rendah. Karena banyak orang yang belum mengenal tempe itu apa. Tetapi dari hasil penelitian ini jadi bahan promosi ke masyarakat Jepang. Secara ini ada datanya kalau tempe ini bagus. Ini menjadi justifikasi ekspor dengan menonjolkan keunggulan tempe yang diproduksi di dalam negeri,” ujarnya bangga.
| Baca Juga: Kisah Unik Wanita Penerima Transplantasi Rahim Pertama Melahirkan
Sastia sudah memulai riset tempe sejak delapan tahun lalu, tepatnya 2017. Awlanya dia melakukan pemetaan diversitas tempe di enam daerah di Indonesia. Termasuk mengumpulkan tempe-tempe dari Malang hingga Purwokerto.
Itu dilakukan untuk melihat perbedaan keunggulan serta ciri khas tempe dari sisi sains. Dari situ, Sastia lantas membandingkan antara tempe Indonesia dan Jepang.
”Tempe Jepang itu kedelainya lebih kelihatan dan besar-besar, sedangkan tempe di Indonesia kedelainya itu biasanya tertutup dengan jamur hasil fermentasinya. Proses produksi tempe di Jepang itu cepat karena di proses perendaman ditambahi cuka. Rasa tempe Jepang lebih hambar. Cita rasanya nggak sekuat tempe Indonesia,” paparnya.
Berbekal data-data tersebut, Sastia membawa penelitian itu ke Amerika Serikat (AS) tahun 2022. Dia berkolaborasi dengan para peneliti ternama dari Harvard Medical School. Mereka saling berdiskusi dan bertukar data penelitian selama satu bulan.
Tahapan penelitian yang panjang itu rampung tahun 2024. Outputnya berupa makalah berjudul Multidisciplinary approach combining food metabolomics and epidemiology identifies meglutol as an important bioactive metabolite in tempe, an Indonesian fermented food.
Kajian itu membawa Sastia masuk nominasi Ando Momofuku Award 2024 setelah namanya diajukan Presiden Osaka University, Shojiro Nishio. Penghargaan itu akhirnya dia terima pada 13 Maret 2024 di Hotel New Otani Japanese Garden.
| Baca Juga: Cerita Pilu Penyintas Sirkus di Balik Panggung Oriental Circus
Sejak kecil Sastia sudah tertarik dengan dunia sains. Namun saat itu dia belum terpikir untuk mendalami profesi sebagai ilmuwan. Lulus dari Jurusan Biologi Institute Teknologi Bandung (ITB) 2004, Sastia mendapatkan beasiswa UNESCO Postgraduate Inter-University Course in Biotechnology dari pemerintah Jepang dan UNESCO selama satu tahun.
Di sana Sastia dibimbing Profesor Nihira, seorang ahli produksi antibiotik dan mikroba ternama di Jepang.
Tahun 2005, Sastia bekerja sebagai asisten riset Biologi di Laboratorium Swiss-German University. Satu tahun kemudian, dia melanjutkan studi S2 Jurusan Bioteknologi di Osaka University dan jenjang S3 tahun 2008 dengan beasiswa dari pemerintah Jepang. Di kampus itu, dia sempat menjadi asisten profesor di Departemen Bioteknologi.
Pada 2022, Sastia diangkat menjadi Associate Professor Independen. Jabatan itu memberinya keuntungan bisa memiliki lab sendiri yang kini bernama Sastia Putri Lab. Di lab itu, dia tidak hanya melakukan riset namun juga mengajar 18 mahasiswa, yang tujuh di antaranya mahasiswa S3.
Sastia mengaku kesuksesan ini tercapai dengan proses yang tidak mudah. “Jepang bukan negara yang sangat terbuka ke foreigner gitu. Jadi perjuangan untuk sampai ke titik ini harus bekerja lebih keras dan menunjukkan prestasi lebih dibandingkan dengan orang-orang Jepang lainnya, untuk bisa berkompetisi di sini,” tegasnya.
”Kalau jadi peneliti harus bisa menerima gagal itu adalah satu hal yang mutlak. Karena udah terlalu sering gagalnya ya pasti lama-lama capek. Kalau harus nangis, ya nangis. Kalau ngerasa harus berhenti ya berhenti pergi ke taman atau daerah gunung. Take a break. Begitu aku mendapatkan inspirasi dari alam. Aku jadi ingat lagi kenapa aku suka biologi dan mendapatkan semangat lagi untuk kembali ke lab,” curhatnya. (*)