Suara mesin terdengar samar tatkala memasuki rumah di Kebraon Indah Permai D 45, Karangpilang, Surabaya, pada Selasa (17/6/2025). Siang itu, Supardi tengah memipihkan eceng gondok kering di halaman depan.
Sementara, Wiwit Manfaati, sibuk menganyam tanaman air bernama latin Eichhornia Crassipes itu. Tangannya tampak lihai menyilang dan melilit eceng gondok yang telah dipipihkan.
Pasangan suami istri (Pasutri) Surabaya tersebut memang tengah membuat kerajinan dari eceng gondok. Ketika masuk rumah, tamu akan disambut deretan hasil karya mereka.
Berawal dari hobi
Berjajar di atas rak kayu bak pameran, terdapat berbagai jenis kerajinan di ruang tamu berukuran 7 x 4 meter. Ada tas, keranjang, tempat piring, tempat tisu, tatakan gelas dan masih banyak lagi. Bahkan tempat duduknya pun berbahan enceng gondok.
“Saya dari kecil memang hobi membuat kerajinan,” ungkap Wiwit Manfaati kepada Nyata.
| Baca Juga : Bocah 6 Tahun di China Operasikan Crane Demi Aksi Akrobat Orangtua
Usaha kerajinan eceng gondok bernama Witrove itu sudah dirintis Pasutri Surabaya itu sejak awal tahun 2008, berangkat dari pelatihan yang digelar Persatuan Istri Purnawirawan (Perip) Jatim.
Singkat cerita, Wiwit yang telah mengikuti pelatihan langsung, mempraktikkan ilmu yang didapat dari instruktur, namun tidak selalu berjalan mulus.
Meski demikian, lulusan sarjana Teknik Informatika itu pantang menyerah dan terus melakukan perbaikan. Setelah berulangkali, barulah hasil kerajinan tangan yang dibuatnya sudah lebih baik.
Berinovasi
Lambat tapi pasti, karyanya mulai dikenal. Bahkan pada 2010, dia diberi stan gratis oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya di sejumlah mal.
Meski sudah mengikuti beberapa pameran di pusat perbelanjaan, produk buatannya tidak kunjung laku. Kondisi itu membuatnya mengevaluasi dengan menghadirkan produk yang inovatif dan variatif.
| Baca Juga : Astrid Ika Paramitha Temukan Melon Hitam Pertama di Dunia
Misal, produk anyaman eceng gondoknya diberi sentuhan motif. Seperti tas yang diberi sentuhan ecoprint. Ada juga yang dilukis, disulam, dirajut, hingga ditempeli kerang di bagian permukaan.
Pengembangan produk itu dilakukan bekerja sama dengan UMKM lain. Kolaborasi itu sekaligus bertujuan agar bisa memajukan usaha pelaku UMKM lainnya.
“Tantangan yang paling besar memang dari sisi pemasaran. Akhirnya saya cari model yang berbeda, kadang idenya muncul dari konsumen,” ujarnya.
Perempuan kelahiran 15 April 1967 itu juga mengaku sempat dibantu Mantan Wali Kota Surabaya saat itu, Tri Rismaharini, untuk rebranding hingga diberi desainer gratis untuk usahanya. Benar saja, produknya dapat diterima di pasar.
Untung Milliaran Rupiah
Wanita berkerudung itu mengaku bisa meraup omzet hingga puluhan juta rupiah per bulan dengan mengolah eceng gondok. Bahkan ia pernah menerima Rp1,5 miliar pada 2018, hasil dari pengerjaan proyek selama delapan bulan dari Risma untuk 7.000 produk.
| Baca Juga : Firasat Para Keluarga Korban Tewas Longsor Tambang di Cirebon
Berkat hal itu, kerajian miliknya semakin digemari. Di Tanah Air, usaha milik Wiwit sudah mejeng di Sarinah, pusat belanja tertua yang ada di Jakarta. Selain ritel modern yang tersebar di Indonesia, seperti IKEA, Mr DIY dan sebagainya.
Sementara di luar negeri, produk Witrove melayani permintaan dari Arab Saudi, Tiongkok, Australia, Belanda, hingga Jepang. Penjualan ke luar negeri biasanya melalui eksporter ataupun melayani secara langsung.
“Kita jual online di media sosial dan e-commerce,” ungkap Wiwit.
Ia bersyukur usaha yang ditekuni sangat membantu kehidupan keluarga. Selain bisa menyekolahkan ketiga anaknya hingga sarjana, ia dan suami juga bisa berangkat haji pada tahun 2018. Sebuah kondisi yang jauh dari apa yang dialaminya dahulu.
Maklum, Wiwit dan suami dulunya masuk golongan keluarga miskin (gakin). Bahkan, keluarga itu pernah terlilit utang. Supardi pernah terkena PHK besar-besaran dari sebuah perusahaan, sedangkan Wiwit hanya sebagai ibu rumah tangga.
Tidak hilang akal, Supardi lantas bekerja serabutan. Selain sopir rental mobil, ia juga pernah berjualan sepatu dan sandal.
| Baca Juga : Demi Anak, Nyawa Melayang: Kisah Korban Longsor Tambang Batu Cirebon
“Bersyukur sekarang bisa beli mobil. Kebetulan kami punya anak tiga. Mereka juga sudah kita daftarkan untuk berangkat haji,” ujar Supardi dalam kesempatan yang sama.
Pemberdayaan
Meski demikian, Supardi dan Wiwit tidak ingin menikmati kesuksesannya sendiri. Keduanya memberdayakan ibu-ibu kampung agar bisa mandiri dan membantu perekonomian keluarga. Mereka yang dipekerjakan ada 5 orang, namun bisa bertambah jika ada banyak pesanan.
“Bahkan kita pernah mempekerjakan 100 orang waktu pesanan banyak. Jadi ada yang bagian ngambil enceng gondok mengeringkan hingga menganyam,” tuturnya.
Dalam proses produksi, awalnya eceng gondok diambil dari waduk yang berlokasi di belakang rumahnya untuk kemudian dijemur sekitar satu minggu.
Untuk memastikan enceng gondok bertahan lama, Wiwit menggunakan teknik menjemur matahari dan juga menggunakan belerang.
“Setelah kering diantar ke rumah mereka masing-masing (pekerja) untuk dianyam. Kalau tahap finishing tetap saya,” katanya.
| Baca Juga : Kisah Rafael Kamal, Pembalap 15 Tahun yang Berjuang Menembus Sirkuit Dunia
Kampung Eceng Gondok
Pasutri Surabaya itu memiliki keinginan untuk membuat kampung eceng gondok. Namun, cinta-cita mulia itu belum terwujud hingga sekarang. Padahal, ia pernah beberapa kali membuat pelatihan di rumahnya.
“Saya pernah bikin pelatihan sama ibu-ibu disini (rumah) tapi tidak ada hasilnya padahal saya pengen buat kampung eceng gondok. Mungkin karena disini banyak keluarga menengah ke atas mungkin ya, jadi ibu-ibu disini kurang termotivasi,” kata wanita berkerudung tersebut.
Wiwit menyadari jalan bisnisnya tidak selalu mulus. Hal itu mulai terasa sejak Maret 2020 silam saat pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia. Bermacam permintaan dari luar negeri yang biasanya berdatangan kala itu menghilang bak ditelan bumi.
“Pandemi makan uang tabungan selama 6 bulan,” ujar ibu tiga anak itu. (*)