
Aktor Chicco Jerikho sebenarnya tidak pernah memegang biola. Sehingga ia pun tidak pernah berpikir untuk memainkan alat musik dawai yang dimainkan dengan cara digesek tersebut.
Namun setelah membintangi film terbarunya, Perang Kota, aktor kelahiran 3 Juli 1984 itu terpaksa bermain biola. ”Aku selama ini memang nggak pernah ya pegang biola, apalagi memainkannya,” kata Chicco saat ditemui di Tunjungan Plaza Surabaya, Jumat (2/5) lalu.
”Saya lumayan intens latihan itu tiga bulan untuk latihan biola sendiri karena memang salah satu alat musik yang belum pernah saya sentuh adalah biola. Dan ternyata memang lumayan susah,” imbuhnya sembari tertawa.
| Baca Juga: Ariel Tatum Kencan dengan Chicco Jerikho Demi ‘Perang Kota’
Kendati demikian, dari serangkaian latihan itu, Chicco Jerikho berhasil menunjukkan kepiawaiannya bermain biola. Dalam salah satu adegan, dia nampak lihai memainkan lagu Rhapsody in Blue karya George Gershwin dengan begitu apik. Setiap melodinya mampu menghidupkan suasana tahun 1946 menjadi lebih sempurna.
”Karena saya juga belum pernah mengalami bagaimana sih situasi tahun 1946. Dari situ butuh waktu panjang untuk mengikuti workshop. Mulai dari bedah script, latihan dialek bahasa Minang, bahasa Belanda, bermain biola, sampai workshop-workshop lainnya. Dan kami juga ngeliat beberapa referensi dari video-video yang ada di digital bagaimana sih potret tahun 1940-an seperti apa,” tuturnya.
Perang Kota merupakan film yang diadaptasi dari novel berjudul Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. Menceritakan tentang Guru Isa (Chicco Jerikho), pahlawan perang yang bermasalah di ranjang perkawinannya, dipercayakan misi menghabisi petinggi kolonial Belanda dalam usaha mempertahankan kemerdekaan, bersama sahabatnya Hazil (Jerome Kurnia), pemuda tampan dan bersemangat yang diam-diam mencuri hati Fatimah (Ariel Tatum), istri Isa.
| Baca Juga: Chicco Jerikho Pamer Dada dan Pakai High Heels di Catwalk
Suami Putri Marino itu juga mengungkapkan karakternya memiliki dimensi berlapis.
“Isa di film ini memiliki spektrum yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan yang ada di bukunya. Karakter Isa yang harus saya refleksikan di dalam film. Ia sosok yang flamboyan, pejuang, tetapi juga punya perjuangannya sendiri di rumah tangganya bersama Fatimah. Dengan sisi tragisnya yang tak ada ujungnya,” ungkap Chicco.
Film arahan sutradara Mouly Surya itu menyajikan interpretasi kontemporer untuk memaknai nuansa vintage Jakarta dengan lanskap bangunan tuanya. Namun dipenuhi oleh karakter-karakter yang dinamis dengan gaya busananya yang modis.
Jakarta era ‘40-an ditampilkan dengan kontras penuh warna dan kota yang muram, menunjukkan suasana kota yang penuh gejolak di tengah peperangan. (*)