Pernah nonton sirkus? Ada aksi akrobatik di udara, pertunjukan gadis-gadis plastik dengan tubuh super lentur atau parade binatang-binatang dengan ketrampilan di luar kebiasaan. Sangat memesona dan fantastis, ya.
Namun di balik aksi-aksi memukau itu, ada cerita pilu dari para talent-nya. Mereka diambil paksa dari keluarga saat balita, bekerja sejak kanak-kanak dengan jam kerja tanpa batas dan tanpa upah. Tidak mendapatkan pendidikan memadai, tanpa ketrampilan lain dan yang sangat menyedihkan, mereka tidak memiliki identitas.
Dan mulai edisi ini secara bersambung, Nyata menampilkan kisah para penyintas Oriental Circus Indonesia (OCI). Kelompok sirkus dari Taman Safari Indonesia yang pernah berjaya di masa lalu, namun menyisakan duka serta trauma para talent-nya.
| Baca Juga: Cuma 7 Detik! Aplikasi Buatan Remaja Ini Bisa Deteksi Masalah Jantung
Sakit Cacar pun Harus Tampil
Namanya Novalita Yesia Lisa dan biasa disapa Lisa. Ia salah seorang penyintas sirkus di Oriental Circus Indonesia (OCI). Novalita Yesia Lisa bukanlah nama aslinya. Nama itu ia pilih sendiri setelah keluar dari OCI pada 1992. ”Kalau di sirkus, Lisa saja,” kata Lisa kepada Nyata, pekan lalu.
Lisa pun bukan nama asli, karena ia tidak pernah tahu apa nama yang diberikan orangtuanya. Ia baru berusia tiga tahun ketika dipisahkan dari orangtuanya. ”Yang kasih nama Lisa itu Bu Farida, istrinya Pak Yansen,” lanjut Lisa.

Dalam sedikit ingatan yang berhasil dijangkau Lisa, ia dibawa beberapa orang, yang kemudian diketahui adalah tiga bersaudara Manansang. Yansen, Frans dan Tony Sumampaw, pemilik OCI. Kemudian Lisa tinggal di sebuah rumah yang di sana juga sudah banyak anak-anak seusianya.
”Saya nggak tahu itu tahun berapa. Dan saya juga nggak tahu lahir tahun berapa, tanggal berapa, tahun berapa. Sampai sekarang juga masih menerka-nerka, berdasarkan foto-foto dokumen ketika masih di sirkus,” tutur ibu dua orang putra itu.
| Baca Juga: Detik-detik Wanita Thailand Melahirkan di Tengah Gempa Myanmar
Eksploitasi Dimulai
Ketika berusia lima tahun, di saat anak-anak lain mulai sekolah di taman kanak-kanak, Lisa justru dibawa ke sirkus dan tinggal di tenda. Ekspoitasi pun dimulai. Lisa dan teman-teman setiap hari harus bangun pukul lima pagi dan langsung berlatih. Kemudian pukul enam, mandi, bersih-bersih dan sarapan.
”Dan kalau ingat waktu itu, setiap kita makan, tidak pernah di meja makan. Kita makan di lantai, setiap hari,” kenang Lisa.
Setelah itu, ia dan teman-teman lain langsung berlatih. Semua jenis atraksi di sirkus, harus dijalani. Mulai menari, melenturkan tubuh agar bisa menekuk seperti karet, akrobatik, trapeze atau palang gantung dengan papan digantung seperti ayunan di udara dan sebagainya. Dan latihan itu dilakukan setiap hari, dari pagi hingga malam.
Tidak cukup hanya itu, berbagai siksaan juga dialami. Dipukul, ditampar, disetrum, kepala dibenturkan ke tembok dan banyak siksaan lain adalah makanan sehari-hari.
”Jadi awal latihan kita keliling tenda dan nggak pake baju, cewek-cewek juga. Dan kalau salah, p3ntil kita disetrum, sama setruman gajah. Itu sering terjadi. Pokoknya setiap hari seperti itu,” kenangnya.
| Baca Juga: Plumes, Musisi Prancis yang Hobi Bernyanyi untuk Hewan
Tanpa Ampun
Masa kanak-kanak yang seharusnya dihabiskan untuk belajar dan bermain, tidak pernah Lisa rasakan. Hari-harinya adalah berlatih dan tampil dalam pertunjukan pada malam hari. Lisa mulai tampil ketika umur tujuh tahun. Setelah itu selain berlatih pada pagi hingga sore, malam hari ia tampil.
Setiap hari, ada dua pertunjukan dan Lisa serta teman-teman harus tampil. Siksaan pun semakin banyak. Karena kesalahan sedikit saat tampil, hadiahnya adalah pukulan, tamparan dan bentuk siksaan lain dari Yansen dan Frans.
”Mereka berdua sama-sama suka menyiksa, tapi yang lebih kejam itu Frans. Misal kita tidak senyum saat tampil, langsung dihukum. Kepala dibenturin ke tembok, sampai telinga berdarah. Dan ya udah, nggak diobatin atau dibawa ke rumah sakit. Dibiarin saja gitu dan malamnya harus tampil lagi, dengan menahan sakit,” kata Lisa.
Karena siksaan setiap hari, tubuh mereka penuh lebam. Tapi penonton tentu tidak ada yang tahu. ”Karena kita pakai stoking, jadi ketutup. Bahkan pas saya kena cacar air, juga harus tetap tampil. Badan masih panas, ada cacar di mana-mana, ya harus tetap tampil. Bisa bayangkan kan rasanya,” lanjutnya.
Saking banyaknya siksaan yang Lisa alami, ia merasa kebal. Karena tidak ada siksaan yang tidak pernah ia rasakan. Hari-harinya hanya diisi dengan latihan, tampil dan siksaan. Tidak ada waktu bermain atau belajar, seperti anak-anak pada umumnya.
Kisah selengkapnya baca di Tabloid Nyata Cetak edisi 2801, Minggu ke II, April 2025