Dulu, diabetes dikenal sebagai penyakit ‘orang tua’. Kini, angka berbicara lain: penyakit ini mulai mengincar mereka yang masih di usia 20-an. Sebuah kenyataan pahit di balik gaya hidup modern yang sering kita anggap remeh.
Ya, diabetes melitus (DM) kini menyerang kalangan anak muda. Generasi yang seharusnya berada di puncak vitalitas, justru mulai terdampak. Hal itu disebabkan, pola makan cepat saji, minuman manis berlebihan, tidur tak teratur, stres, dan aktivitas fisik minim. Bom waktu gaya hidup modern. Diam-diam mematikan.
“Dulu kita banyak menemukan penderita diabetes di atas usia 40 tahun. Sekarang, pasien usia 20-an semakin sering datang dengan kadar gula darah yang tinggi,” ungkap dr. Gusti Syu Mulyani saat Bakti Indonesia 2025 di Pura Agung Besakih, Bali.
Ia menambahkan, “Perubahan gaya hidup dan pola makan yang tidak seimbang menjadi pemicu utama meningkatnya kasus DM di kalangan generasi muda.”
| Baca Juga: Remaja di Mesir Meninggal, Diduga Akibat Makan Mie Instan Mentah
Yang lebih mengkhawatirkan, kata dr. Gusti, banyak anak muda tidak menyadari bahwa mereka menyimpan bom waktu. Diabetes tidak selalu datang dengan gejala dramatis. Tanpa disadari, tubuh mulai melemah pelan-pelan.
“Masalahnya, banyak yang lalai memeriksakan diri. Padahal gejalanya bisa samar. Ketika terasa, biasanya sudah masuk tahap kronis,” ujarnya.
Tes Sederhana, Dampak Besar
Salah satu langkah sederhana namun penting untuk deteksi dini adalah tes HBA1C. Tes ini menunjukkan kadar rata-rata gula darah selama tiga bulan terakhir, lebih akurat dibandingkan cek gula biasa.
Dr. Gusti menyarankan anak muda mulai rutin melakukannya, terutama bila memiliki gaya hidup berisiko tinggi.
“Jangan tunggu gejala muncul. HBA1C bisa menjadi cermin seberapa jauh kita sudah menyimpang dari pola sehat,” tegasnya.
Dan memang, kesadaran kesehatan tak bisa lagi jadi urusan ‘nanti-nanti.’ Terutama bagi generasi yang hidup di tengah gempuran makanan instan, kopi susu kekinian, lembur, dan duduk berjam-jam di depan layar. Ini bukan sekadar isu medis, tapi juga gaya hidup yang perlu direnungkan ulang.
| Baca Juga: Hanya 5 Menit, Lakukan Cara ini Ketika Sulit Tidur Karena Stres
Kesehatan dan Kebangsaan dalam Satu Napas

Bicara soal kesehatan, Bakti Indonesia 2025 tidak hanya jadi wadah untuk cek gula darah. Di balik tenda-tenda pemeriksaan, ada semangat yang lebih dalam: merawat rasa kemanusiaan dan persatuan.
Acara ini menjadi bagian dari perayaan kemerdekaan, namun dirayakan dengan cara yang unik: berpindah dari satu rumah ibadah ke rumah ibadah lain setiap tahun, merangkul keberagaman Indonesia lewat aksi nyata.
Setelah Masjid Istiqlal (2023), Gereja Katedral (2024), kini giliran Pura Besakih menjadi tuan rumah tahun ini. Tahun depan, gerakan ini akan menyambangi Kelenteng Sam Poo Kong di Semarang, lalu pada 2027 menuju Candi Borobudur—membawa misi kesehatan dan persaudaraan antarmanusia.
“Bakti Indonesia bukan sekadar pemeriksaan kesehatan. Ini ruang perjumpaan lintas batas. Seorang petani dari Karangasem bisa datang cek jantung, tapi pulang dengan pelajaran tentang menerima perbedaan,” ujar Iman Usmansjah, ketua panitia tahun ini.
| Baca Juga: Sering Pakai Headset? Waspadai Risiko Tuli dan Simak Tips Aman Ini
Di tengah dunia yang makin cepat, kita sering lupa satu hal sederhana, tubuh punya batas. Kita bisa lembur, multitasking, atau mengejar target tanpa henti, tapi tubuh menyimpan catatannya sendiri. Dan kadang, ia membalas dalam bentuk penyakit.
Maka mumpung masih muda, belum terlambat untuk berhenti sejenak. Merenung. Menyaring yang kita makan. Mengurangi manis yang semu. Lebih banyak gerak. Lebih sering memeriksakan diri. Karena kesehatan bukan tentang saat ini saja, tapi tentang 10, 20 tahun ke depan. (*)
Jangan ketinggalan berita terbaru dan kisah menarik lainnya! Ikuti @Nyata_Media di Instagram, TikTok, dan YouTube untuk update tercepat dan konten eksklusif setiap hari.