Walhi Sindir Transisi Energi Palsu Legalkan Deforestasi

2 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Organisasi nonpemerintah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyerukan pemerintah RI menghentikan praktik transisi energi palsu yang melegalkan deforestasi.

Seruan itu disampaikan Walhi bersamaan dengan momentum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) iklim atau Conference of Parties (COP) ke-30 yang digelar di Belém, Brasil pekan ini.

Selain itu, Walhi mendesak negara mengakui secara penuh peran masyarakat adat serta komunitas lokal sebagai penjaga ekosistem paling vital di negeri ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, mengatakan COP30 seharusnya menjadi titik balik dalam diplomasi iklim global.

"Seruan utama dari konferensi ini bukan lagi janji-janji baru, melainkan implementasi cepat, nyata, dan berskala besar. Di tengah urgensi global ini, Walhi menegaskan bahwa Indonesia tidak dapat terus mempertahankan model ekonomi eksploitatif dan transisi energi yang bergantung pada ekstraksi sumber daya alam," ujar Uli melalui siaran persnya dikutip Selasa (11/11).

Uli menerangkan laporan terbaru Walhi yang berjudul 'Melegalkan Krisis Iklim: Deforestasi Sistematis Atas Nama Transisi Energi di Indonesia' mengungkap sekitar 26,68 juta hektare kawasan berhutan Indonesia berada di bawah tekanan izin industri ekstraktif, seperti PBPH (Perizinan Berusaha di Bidang Kehutanan), WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan), dan HGU (Hak Guna Usaha).

Luas itu, katanya, setara 25,6 persen dari total tutupan hutan nasional.

Dia menyatakan jika seluruh kawasan ini dibuka untuk mendukung proyek-proyek transisi energi, terang Uli, Indonesia berpotensi melepaskan lebih dari 9 miliar ton karbon dioksida ekuivalen (CO₂e) ke atmosfer.

Angka itu, sambung Uli, setara dengan akumulasi emisi sektor energi selama 25 tahun terakhir.

Masyarakat adat dan Greenwashing

Uli menyatakan temuan tersebut memperlihatkan bahwa proyek-proyek transisi energi yang dijalankan pemerintah RI saat ini seperti kendaraan listrik, pembangkit energi panas bumi (geothermal), co-firing biomassa, dan bioenergi justru mendorong deforestasi dalam skala besar.

Ketergantungan pada hutan dan lahan sebagai sumber daya transisi energi, katanya, telah mengaburkan tanggung jawab sektor energi untuk menurunkan emisi secara langsung.

Kemudian strategi mitigasi yang mengandalkan sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Forestry and Other Land Uses/FOLU) sebagai penyeimbang emisi fosil dianggap juga tidak cukup dan berisiko memperbesar praktik greenwashing.

Greenwashing adalah praktik manipulatif yang dilakukan oleh perusahaan atau organisasi untuk menciptakan citra ramah lingkungan secara tidak jujur.

Infografis Dampak Perubahan Iklim di Indonesia

Walhi juga mengkritik pernyataan pemimpin dunia termasuk Indonesia yang menyatakan masyarakat adat dan komunitas lokal adalah aktor utama dalam menjaga iklim sekaligus sebagai pusat solusi.

Dalam siaran pers yang sama, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah Bayu Herinata menilai pernyataan tersebut hanya seperti pepesan kosong sebab tidak diikuti dengan tindakan nyata.

"Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal masih berjalan lambat. Saat ini saja ada seluas 848 ribu hektare wilayah kelola rakyat yang difasilitasi oleh WALHI belum diakui oleh pemerintah. Padahal, wilayah-wilayah ini terbukti memiliki tingkat deforestasi yang lebih rendah, menyimpan karbon secara lebih efektif, dan menjaga keanekaragaman hayati," ungkap Bayu.

"Pengakuan hukum atas hak tanah mereka bukan hanya keharusan moral, tetapi juga strategi iklim yang praktis dan terbukti," sambungnya.

Bayu juga menyoroti pernyataan Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi Hashim S Djojohadikusumo yang menyampaikan bahwa Indonesia datang ke COP30 sebagai mitra konstruktif, membawa instrumen kebijakan seperti SNDC, Perpres Karbon, dan Tropical Forest Fund.

Menurut dia, tanpa koreksi terhadap kebijakan perizinan dan penghentian deforestasi legal, komitmen tersebut tidak akan cukup untuk menjawab krisis iklim yang semakin mendesak. Instrumen kebijakan yang ada saat ini tidak dapat menggantikan tindakan nyata di lapangan, terutama dalam hal perlindungan ekosistem dan pengakuan hak masyarakat.

(ryn/kid)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Kerja Bersama | | | |