Curhatan Pilu Penyintas Bom Bali I, Mati-matian Bertahan Hidup

1 month ago 27
 Dok. Farah/NyataChusnul Chotimah, korban selamat dari tragedi Bom Bali I. Foto: Dok. Farah/Nyata

Chusnul Chotimah, wanita asal Kelurahan Sidoklumpuk, Sidoarjo, adalah salah satu korban selamat dari tragedi Bom Bali I yang terjadi pada 2002 lalu. Meski selamat, kondisi fisiknya tak lagi sempurna.

Kulit di hampir sekujur tubuhnya tidak rata. Wajah, bibir, telinga, leher, dada, lengan, punggung tangan, paha hingga betis terdapat luka bakar.

Kulit-kulit yang rusak itu membentuk jaringan parut. Sementara kulit di area lengan tampak bersisik dan kasar bekas balutan kassa. Parahnya lagi, dia kehilangan jempol kaki kirinya.

“Ini di kaki saya masih ada empat logam. Di dada ada satu. Jempol kaki kiri saya nggak tahu hilang ke mana. Tangan saya ini juga kadang sering gatal,” kata Chusnul saat ditemui Nyata pada 17 Januari 2025.

 Dok. Farah/NyataKondisi tangan dan kaki. Foto: Dok. Farah/Nyata

| Baca Juga : Nasib Nahas Keponakan di Bandung Ditikam Paman 51 Kali

Kembali ke 22 tahun lalu, Chusnul Chotimah kala itu hendak membeli nasi ketika pengeboman terjadi. “Saya mampir mau beli nasi di dekat Paddy’s Pub. Terus pedagangnya bilang, ‘Tunggu sebentar ya, saya mau bantu dorong mobil itu (Mitsubishi L300, kendaraan pembawa bom) biar nggak macet’,” kisahnya.

Tidak lama setelah itu, bom meledak. Chusnul yang hanya berjarak 10 meter dari mobil, terdampak ledakannya. Dia masih ingat jelas betapa kacau penampilannya saat itu. Bajunya terlepas, hanya tersisa pakaian dalam. Celana compang camping. Rambutnya yang panjang terbakar.

Sempat dirawat di RSAD Denpasar selama tiga hari dan RSUP Prof dr I Goesti Ngoerah Gde Ngoerah selama empat hari, sayangnya, tidak ada dokter yang bisa menangani luka bakar 70 persen yang dideritanya.

Melihat kondisi Chusnul Chotimah, Palang Merah Australia kemudian menawarkan bantuan perawatan di negara mereka. Ibu tiga anak itu kemudian menjalani operasi di sana sebanyak 37 kali yang dilakukan secara bertahap pada 2002, 2004, dan 2005.

 Dok. Farah/NyataChusnul saat dirawat di Australia, didampingi suaminya. Foto: Dok. Farah/Nyata

| Baca Juga : Hobi Unik Cydney Harding, Koleksi Ribuan Gunting

Sekembalinya ke Sidoarjo pada 2003, kehidupan Chusnul dan suami mulai berubah drastis mulai 2006 setelah bantuan dari Palang Merah Australia dan berbagai yayasan berhenti.

Kondisi keuangan mereka semakin memburuk. Dan di tahun itu, ia melahirkan anak ke tiga. Dia menyambung hidup dengan berjualan sayur keliling. Sementara suaminya menjadi kuli.

Seolah tak cukup menderita dengan kondisi fisik dan perekonomian yang buruk, wanita berusia 55 tahun itu masih harus menghadapi kenyataan kalau putra bungsunya mengidap Von Willebrand. Penyakit langka gangguan pembekuan darah yang tak bisa disembuhkan. Belum lagi suaminya meninggal dunia pada 2017.

Chusnul tak menutupi bahwa dia juga pernah memiliki keinginan untuk menyerah. Empat kali dia mencoba bunuh diri. Namun Tuhan tampaknya masih ingin ia melanjutkan hidup demi anak-anak.

“Saya ingat dengar anak-anak saya teriak waktu lihat saya lemas itu. Setelah itu saya merasa kalau saya masih harus hidup. Kalau bukan saya, siapa yang mau merawat anak-anak. Apalagi ada si kecil,” katanya.

| Baca Juga : Pengalaman Nadia Melahirkan, Pecah Ketuban saat Nonton Konser Maroon 5

 Dok. Farah/NyataChusnul Chotimah sebelum Bom Bali I. Foto: Dok. Farah/Nyata

Kini Chusnul Chotimah mencari nafkah dengan berjualan sayur, ayam, dan ikan segar setiap pagi. Dia juga membuka warung kecil-kecilan di depan rumahnya.

Namun penghasilannya juga tak seberapa. Hanya berkisar Rp 50.000-75.000 sehari. Meski cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari, tetapi penghasilannya itu tak mampu untuk menutupi biaya berobat putra bungsunya yang bisa menghabiskan belasan juta.(*)

Read Entire Article
Kerja Bersama | | | |