Tren media sosial ‘lari lurus’ atau ‘Run It Straight challenge’ memakan korban. Remaja di Selandia Baru, Ryan Satterthwaite, meninggal pada Senin (26/5/2025) setelah ikut serta dalam tantangan media sosial tersebut.
Run It Straight Challenge terinspirasi dari rugbi, yang membuat mereka berlari kencang dan saling bertabrakan tanpa alat pelindung. Tujuannya untuk menjatuhkan lawan. Tantangan itu memang sedang viral di Selandia Baru dan Australia.
Polisi mengonfirmasi pria berusia 19 tahun itu meninggal setelah kritis di rumah sakit karena mengalami cedera di kepala saat ikut ‘Run It Straight Challenge’ di kota Pulau Utara Palmerston North pada Minggu (25/5).
| Baca Juga : Trend Makan Keripik Tewaskan Pemuda AS
“Pria itu mengalami cedera kepala serius saat dihadang dan dibawa ke rumah sakit oleh teman-temannya. Tragisnya, ia meninggal di rumah sakit pada Senin malam,” kata Inspektur Polisi Kepolisian Selandia Ross Grantham dalam sebuah pernyataan dikutip dari The Peninsula.
Ross Grantham mengingatkan publik akan bahaya tantangan ini. “Kami mengimbau siapa pun yang berpikir untuk ikut serta dalam permainan atau acara seperti ini untuk mempertimbangkan risiko keselamatan dan cedera yang signifikan,” ujarnya.
Para ahli menganggap permainan tersebut seperti olahraga bela diri. Mereka memperingatkan para peserta atas risiko gegar otak yang serius.
Meski berbahaya, tantangan itu dilombakan dengan menawarkan hadiah uang dalam bentuk dolar dan telah menarik minat dari mantan pemain rugbi profesional.
| Baca Juga : Live Wedding Painting, Tren Baru Mengabadikan Momen Pernikahan
“Ini adalah bentuk bahaya dan itu harus dihindari. Cedera otak traumatis tunggal dapat menghancurkan seseorang, menyebabkan kecacatan seumur hidup atau kematian dalam beberapa kasus. Ini kemungkinan melibatkan pembengkakan atau pendarahan otak,” tutur ahli saraf dan direktur Biobank CTE, dr Rowena Mobbs, dikutip dari Daily Mail.
Mobbs mengatakan Run It Straight challenge bahkan lebih berbahaya daripada liga rugby atau Aturan Aussie dalam hal risiko cedera otak.
“Itu karena para peserta berlari dengan kecepatan penuh ke arah satu sama lain dengan kekuatan benturan yang jauh lebih besar daripada di lapangan sepak bola. Orang tua yang memiliki anak yang terlibat dalam bentuk bahaya ini perlu sangat menyadari bahwa mungkin ada konsekuensi yang serius, bahkan kematian,” katanya. (*)