Anak Kecanduan Gadget? Waspada Brain Rot, Ayo Main di Luar Lagi

2 days ago 7

Anak-anak menatap layar ponsel berjam-jam kini jadi pemandangan sehari-hari. Namun di balik hiburan digital tanpa batas itu, ada ancaman serius yang mengintai: brain rot.

Fenomena ini merujuk pada penurunan fungsi kognitif akibat konsumsi konten digital singkat, berulang, dan miskin rangsangan otak.

Anak yang kecanduan gadget, lebih mudah marah, sulit fokus, hingga kehilangan kemampuan sosial.

Brain rot nyata adanya. Terlalu banyak mengonsumsi konten non-edukatif membuat anak lebih emosional dan gampang terdistraksi,” ujar psikolog anak Saskhya Aulia Prima, M.Psi.

| Baca Juga: Randy Pangalila: Perawatan Kulit Sama Pentingnya dengan Jaga Stamina

Fenomena ini tidak hanya mengintai anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Beberapa tanda brain rot antara lain:

1. Lebih tertarik scrolling media sosial meski sedang bersama keluarga atau teman.

2. Sulit lepas dari gadget, bahkan saat bekerja.

3. Sering mengecek notifikasi ponsel dan kebanjiran informasi tidak penting.

4. Insomnia, mata lelah, atau sakit kepala setelah main gadget.

Jika dibiarkan, brain rot bisa memicu rasa cemas hingga depresi.

| Baca Juga: Yura Yunita Menyanyi Lagu ‘Mahadewi’ di atas Naga, Bawa Hikayat Nusantara

Kembali ke Dunia Nyata

Menurut Saskhya, pencegahan brain rot bisa dilakukan dengan cara sederhana: menerapkan screen time, menghindari gadget sebelum tidur, tidak berlangganan banyak aplikasi, dan memperbanyak aktivitas fisik.

“Membiasakan anak bermain di luar rumah bersama teman-teman efektif mencegah brain rot. Aktivitas itu menyehatkan tubuh, memperkaya interaksi sosial, membangun imajinasi, serta melatih regulasi emosi,” jelasnya.

Devinta Puspita Ratri, pakar linguistik Universitas Brawijaya, menambahkan paparan konten pendek membuat otak terbiasa bekerja instan.

“Anak jadi tidak sabaran, sulit fokus, dan kehilangan minat membaca. Itu efek langsung dari konsumsi digital berlebihan,” katanya.

| Baca Juga: Full Marathon Jadi Cara Healing Febby Rastanty

Sayangnya, banyak orang tua masih ragu melepas anak bermain di luar karena takut kotor atau sakit. Padahal, menurut Saskhya, masa kecil yang terlalu steril justru membuat anak kehilangan pengalaman penting.

“Kita tidak butuh taman bermain mewah atau alat permainan mahal. Sepeda tua, tali karet, atau kapur di trotoar sudah cukup. Anak hanya butuh ruang untuk jadi anak-anak,” ujarnya.

Saskhya menegaskan, bermain di luar bukan sekadar mengurangi waktu layar.

“Di luar rumah, anak belajar menghadapi risiko, membangun keberanian, menyusun strategi saat bermain, atau menahan diri saat kalah. Itu membentuk karakter kuat sekaligus tubuh sehat,” katanya.

Di tengah derasnya arus teknologi, ajakan bermain di luar bukan bentuk penolakan digital. (*)

Jangan ketinggalan berita terbaru dan kisah menarik lainnya! Ikuti @Nyata_Media di InstagramTikTok, dan YouTube untuk update tercepat dan konten eksklusif setiap hari.

Read Entire Article
Kerja Bersama | | | |