Jakarta, CNN Indonesia --
Silang pendapat terjadi mengenai siapa pewaris takhta Keraton Surakarta Hadiningrat di Kota Surakarta atau Solo, Jawa Tengah, pascamangkatnya Pakubuwono XIII.
Terlepas dari itu, bisakah Anda memahami perbedaan Surakarta dan Solo?
Secara geografis baik Surakarta maupun Solo adalah sebuah daerah yang sama, yang oleh publik dikenal sebagai Kota Bengawan atau Kota Budaya. Surakarta adalah nama resmi dan administratif, sementara Solo adalah nama populer yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, bisnis, dan pariwisata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, perbedaan akan terlihat secara historis.
Mengutip dari laman Universitas Sebelas Maret (UNS), akademisi di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNS Prof Warto mengatakan secara historis perkembangan penyebutan Surakarta dan Solo tak lepas dari pengaruh 'lidah' bangsa Belanda dan pascaperang di Mataram.
Dalam publikasi di laman UNS pada 2021 silam, Warto mengatakan pada awalnya nama yang benar untuk menyebut daerah itu adalah Sala.
Kota yang berada di tepi Sungai Bengawan Solo itu mulanya adalah sebuah desa 'perdikan' bernama Desa Sala. Dahulu, desa ini dipimpin seorang kiai bernama Ki Gede Sala atau biasa disebut juga Kiai Sala.
Hingga ketika bangsa Belanda mendarat di Pulau Jawa dan mencengkeram pengaruh kuku kolonialismenya. Seiring kedatangan orang-orang Belanda, penyebutan nama Sala yang semula menggunakan huruf 'a', berubah menjadi 'o' sehingga pelafalannya berubah menjadi 'Solo'.
"Dengan huruf 'a'. Ingat huruf Jawa 'o' dan 'a' punya perbedaan yang sangat penting. Kalau 'Sala' ditulis dengan huruf Jawa nglegena atau telanjang. Kalau di-taling-tarung jadi 'o' makanya So-lo gitu. Dan, alasannya 'Sala' jadi 'Solo', karena orang Belanda susah ngomong 'Sala'," jelas Warto kala itu.
Geger Pecinan dan pusat keraton baru
Waktu pun berlalu, Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah UNS itu menjelaskan Desa Sala atau Solo kemudian berubah menjadi pusat kerajaan dengan berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat.
Pemilihan Desa Sala sebagai lokasi baru keraton didasarkan pada pertimbangan Tumenggung Hanggawangsa, Tumenggung Mangkuyudha, dan JAB van Hohendorff usai Keraton Kartasura hancur akibat Geger Pecinan.
Geger Pecinan adalah pemberontakan gabungan etnis Tionghoa dan Jawa pada 1743 yang dipimpin Raden Mas Garendi (Sunan Kuning). Sunan Kuning dikenal sebagai sepupu dari Pakubuwono II yang memimpin Keraton Kartasura.
Pakubuwono II dinilai berpihak kepada kolonialisme Belanda yang saat itu masih dimotori VOC, dan melupakan janji bakal bersatu bersama etnis Jawa dan Tionghoa untuk mengusir bangsa Eropa itu.
Walaupun Keraton Kartasura berhasil direbut kembali, namun Pakubuwono II yang kala itu masih berkuasa menganggap lokasi keraton sudah kehilangan 'kesuciannya'. Lokasi keraton pun dipindah ke tempat yang baru yakni di Desa Sala.
Adu domba Belanda belum berhenti. Mengutip dari Antara, setelah Pakubuwono II mangkat pada 20 Desember 1749, VOC ikut campur dalam suksesi Mataram dengan menunjuk RM Soerjadi jadi Pakubuwono III. Padahal sebelumnya Pangeran Mangkubumi telah memproklamirkan diri sebagai raja. Ini memicu perang saudara antara kubu Pakubuwono III yang didukung VOC melawan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa).
Pada 1752, VOC memecah belah koalisi Mangkubumi-Raden Mas Said. VOC mendekati Mangkubumi dengan tawaran mendapat separuh wilayah Mataram.
Hal itu kemudian memicu terciptanya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang memecah Kerajaan Mataram jadi dua yakni Kasunanan Surakarta dipimpin Pakubuwono III yang menguasai wilayah di sebelah timur Sungai Opak dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I yang menguasai wilayah di sebelah barat Sungai Opak.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat kemudian resmi dikumandangkan pada 13 Maret 1755.
Sala, Solo, Surakarta, Solo Baru
Pada 2021 silam, Prof Warto dari UNS pun menegaskan, "Sala itu sebuah desa yang ditempati untuk Keraton Surakarta Hadiningrat dengan penguasanya Pakubuwono. Apa bedanya Sala dengan Surakarta? Kalau Surakarta adalah nama kerajaan sama dengan Keraton Kartosuro setelah pindah ke Desa Sala."
Seiring perjalanan waktu, Surakarta yang merupakan nama dari sebuah keraton ditetapkan menjadi nama resmi kota administratif.
Surakarta kemudian menjadi nama resmi administratif kota itu, sementara Solo tetap digunakan sebagai penyebutan populer atau umum di tengah masyarakat.
"Perbedaan istilah tidak mengubah substansi, ya tetap sama," kata Warto.
Selain itu mengutip dari detikJateng, di kehidupan modern kemudian berkembang kawasan yang dinamakan Solo Baru. Daerah itu berada di Kabupaten Sukoharjo, tepatnya di Kecamatan Grogol.
Solo baru itu berbeda dengan Surakarta yang juga Solo. Solo Baru itu adalah sebuah kawasan bisnis dan pemukiman modern di Sukoharjo yang berbatasan dengan Kota Solo. Gapura perbatasan dan patung Ir Soekarno di Tanjung Anom menjadi ciri khas sebagai landmark perbatasan antara Kota Solo dan Solo Baru.
Perebutan Takhta Keraton Surakarta di 2025
Dan kini, pada 2025 ini, Takhta Keraton Surakarta Hadiningrat kembali diperebutkan seperti pada dua dekade lalu antara almarhum Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Hangabehi yang kemudian jadi Pakubuwono XIII dan adiknya Kanjeng Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung Tedjowulan yang lalu jadi Mahamenteri setelah Islah.
Kini setelah Pakubuwono III mangkat, keraton tersebut saat ini memiliki dua orang yang saling klaim bergelar Pakubuwono XIV.
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunegoro Sudibyo Rajaputra Narendra Mataram atau Gusti Purbaya mendaku diri sebagai Pakubuwono XIV dan dilantik menjadi Raja Keraton Surakarta pada Sabtu (15/11).
Namun saudara Purbaya dari beda ibu, yakni KGPH Mangkubumi, juga mengaku sebagai pewaris takhta kerajaan versi keluarga besar keraton berdasarkan aturan adat. Putra tertua Pakubuwono XIII tersebut juga mengklaim diri sebagai SISKS Pakubuwono XIV.
Klaim tersebut didasarkan karena beberapa adik mendiang Pakubuwono XIII merasa tidak pernah diajak bicara soal suksesi. Mereka akhirnya mengadakan pertemuan di Sasana Handrawina, Kamis (13/11). Pertemuan yang digawangi KG Panembahan Agung Tedjowulan itu turut mengundang anak-anak Pakubuwono XIII. Namun dari enam anaknya, hanya Mangkubumi dan adiknya, Gusti Putri Purmaningrum, yang ikut hadir.
Dalam pertemuan tersebut, Mangkubumi dinobatkan sebagai Pangeran Pati alias calon raja dengan gelar KGP Adipati Anom Amangkunagoro Sudibyo Rajaputra Narendra Mataram. Lima belas menit kemudian, ia dilantik menjadi Raja Keraton Surakarta dengan gelar SISKS Pakubuwono XIV.
Pada pekan lalu, Wali Kota Surakarta atau Wali Kota Solo Respati Ardi menegaskan Pemkot menghormati urusan internal pihak keraton terkait siapa yang berhak atas Takhta. Meskipun demikian, Respati mengatakan pemerintah berkewajiban menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.
"Semua ada aturannya. Kalau ada warga yang beda pendapat, ya diselesaikan dengan baik, kita serahkan pada mekanisme yang berlaku," ujarnya kepada wartawan, Jumat (14/11).
(kid)

3 hours ago
1
















































