NYATA MEDIA — Muhammad Faisol tak bisa menyembunyikan raut cemas di wajahnya. Anaknya, Irham Ghifari, menjadi salah satu korban ambruknya bangunan musala Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny pada Senin (29/9) waktu salat ashar.
Bersama puluhan keluarga korban lainnya, Faisol menanti di posko pengungsian RS Bhayangkara Polda Jatim sejak Senin (6/10).
Di salah satu sudut tenda darurat itu, bibir Faisol tak henti-hentinya berzikir, melantunkan lafaz-lafaz suci. Di tangannya, butiran tasbih kayu berwarna cokelat tua terus berpindah satu per satu, seolah mengikuti hatinya yang penuh kecemasan.
Pria berusia 45 tahun itu berusaha merayu Tuhan, memohon agar segera diberi kepastian.
| Baca Juga : Tiga Jenazah Korban Ponpes Al Khoziny Teridentifikasi, Satu di antaranya Body Part
Sebab, sudah lebih dari dua minggu Faisol menetap di posko, bersama istri dan anak keduanya. Mereka menunggu hasil identifikasi jenazah korban yang dievakuasi Tim SAR dari reruntuhan Ponpes Al Khoziny.
“Saya nunggu sama istri dan anak kedua. Harapan saya ya cepat dapat kabar anak saya diidentifikasi. Soalnya sampai sekarang belum ada kabar,” tuturnya kepada Nyata Senin (13/10) siang.
Irham Ghifari, siswa kelas 1 SMA, sudah empat tahun menjadi santri di Ponpes Al Khoziny. Dia mondok di sana sejak lulus SD.
Keinginannya untuk nyantri datang dari dirinya sendiri. Menolak sekolah negeri, dia memilih mondok di Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo.
| Baca Juga : Identifikasi Korban Ponpes Al Khoziny Terus Berlanjut, 19 Jenazah Belum Terungkap
Bagi Faisol, anaknya adalah pribadi yang unik dan berprestasi. Sejak kecil, Irham selalu meraih peringkat atas. Bahkan di pondok, IQ-nya disebut di atas rata-rata.
“Anak saya kalau belajar tidak seberapa fokus, bahkan waktu pelajaran sering tidur kadang main kelereng. Tapi ternyata diuruh ngulang penjelasan guru itu bisa,” ujar Faisol.
123 Tags:
Al Khoziny Ponpes Sidoarjo