S urabaya dikenal memiliki kampung-kampung unik. Jika di Kampung Kue dan Semanggi menawarkan kuliner khas. Namun ada lagi Kampung Lawas Maspati yang memiliki daya tarik berbeda. Jika berkunjung ke sana, Anda akan diajak bernostalgia melalui hal-hal berciri khas tempo dulu.
Bukan tanpa alasan, Kampung Lawas Maspati menyimpan banyak kisah masa lalu. Tidak jauh dari kawasan Tugu Pahlawan, lokasinya berada di Jalan Maspati Gang V, Kecamatan Bubutan, Surabaya.
Nama Maspati sendiri diyakini erat kaitannya dengan istilah ‘Patih’ atau pejabat tinggi kerajaan. Kampung itu diketahui berdekatan dengan wilayah-wilayah lain seperti Bubutan, Krajan, Kawatan, dan Blauran. Kelimanya disebut sudah ada sejak masa Keraton Surabaya, sebelum abad ke-17, ketika Kota Pahlawan masih dikuasai oleh Kesultanan Mataram.
Namun, tidak ada bukti tertulis atau dokumen yang menyebutkan tentang keberadaan Keraton Surabaya.
| Baca Juga : Sulap Gulma Jadi Barang Berharga, Pasutri Surabaya Ingin Buat Kampung Eceng Gondok
“Kalau sampai sekarang sebenarnya tidak ada sumber tertulis yang menceritakan awal mula Kampung Maspati,” kata dosen Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Ikhsan Rosyid kepada Nyata pada Selasa (12/8/2025).

Satu-satunya rujukan visual yang cukup kuat datang dari buku karya wartawan kolonial bernama Von Faber, berjudul Oud Soerabaia. Dalam buku tersebut terdapat peta Surabaya tahun 1677, yang berasal dari catatan Cornelis Speelman, jenderal VOC yang kala itu diminta membantu menangkap Trunojoyo.
Dalam peta itu, digambarkan pusat Keraton Surabaya berada di kawasan yang kini dikenal sebagai Tugu Pahlawan. Di sekelilingnya, terlihat permukiman para pejabat kerajaan, termasuk satu wilayah yang diidentifikasi sebagai Kampung Maspati.
“Dari situ, kita mengidentifikasi Maspati itu tempat tinggal para patih,” jelas Ikhsan.
| Baca Juga : Demi Air Bersih, Miss Indonesia 2024 Nginap di Kampung Ciseke
Di balik bangunan-bangunan tuanya, tersimpan cerita yang tidak kalah menarik. Seperti Omah Tua 1907 yang kini dialihfungsikan sebagai kafe. Konon, bangunan itu adalah pabrik sepatu yang kemudian dijadikan lokasi konsolidasi pemuda kampung untuk menyusun strategi peperangan 10 November 1945.

Ada pula Rumah Raden Sumomiharjo, yang dikenal masyarakat sebagai mantri nyamuk. Pada masa itu, penyakit malaria merebak luas, dan Sumomiharjo, ditugaskan ke Surabaya untuk membuka praktik pengobatan di sana, khususnya daerah Bubutan.
Bangunan bersejarah lainnya, yaitu Sekolah Ongko Loro. Dulunya, bangunan itu merupakan tempat belajar kaum pribumi selama dua tahun untuk belajar baca tulis hitung setingkat SD.
Kampung Maspati tidak hanya hidup dalam kenangan. Di sana, jalanan kampung disulap menjadi panggung budaya. Rumah-rumah tua dirawat menjadi saksi bisu zaman. Kenangan lama dihidupkan kembali dengan semangat gotong royong warganya.
| Baca Juga : Tradisi Sambut Tahun Baru Imlek di Kampung Pecinan Surabaya
Jika memasuki kampung, pengunjung akan disambut warga dengan pakaian daerah. Ada yang menari, ada pula yang memainkan musik patrol di jalanan kampung selebar 3 meter tersebut.
Alunan musik patrol yang semarak dan rancak membuat perjalanan kian terasa menyenangkan. Apalagi, di hampir tiap rumah ditanami berbagai macam tanaman hias dan pepohonan, menjadikan Kampung Maspati terasa sejuk.
Selain tanaman, sepanjang jalanan Kampung Maspati diubah menjadi kawasan bermain anak-anak, sehingga generasi muda lebih dekat dengan kebudayaan daerah. Permainan ini terdiri atas engkle, baklak, dakon, lompat tali, ular tangga, dan masih banyak lagi.
“Pengunjungnya beragam. Bahkan, biasanya dikunjungi turis manca negara. Mereka itu penumpang kapal pesiar yang singgah di Pelabuhan Tanjung Perak di masa kunjungan bulan November sampai April,” terang Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Maspati, Suyatno.
| Baca Juga : Menjelajah ’Pabrik’ Lontong Rumahan di Surabaya
Di tengah nuansa sejarahnya, Kampung Maspati juga menampilkan wajah modern lewat inovasi teknologi yang ramah lingkungan. Salah satunya adalah robot daur ulang buatan warga yang mampu mengubah sampah botol plastik menjadi cendera mata, seperti gantungan kunci.
“Robot ini akan jadi bagian dari wisata edukasi daur ulang. Kami sudah menyiapkan ruangannya di lantai 2 balai RW 06,” kata pria yang akrab disapa Cak O’on tersebut.
Tak hanya itu, kampung itu juga memanfaatkan solar cell untuk menghasilkan energi listrik, memiliki sistem instalasi pengolahan air limbah bawah tanah (IPAL), dan budidaya ikan dalam ember serta tanaman hidroponik.
Karena potensi wisatanya, Kampung Maspati menjadi ladang subur bagi pelaku UMKM. Sedikitnya ada 80 usaha mikro yang berkembang di sana.
Menghasilkan aneka produk unggulan seperti olahan cincau, lidah buaya, markisa, hingga jamu herbal. Selain itu, terdapat kerajinan lukis kaus dan lukis topi untuk cendera mata para pengunjung. (*)