Ablasio retina bisa terjadi kepada siapa pun dan umur berapa pun, termasuk anak-anak. Kondisi itu bisa terjadi karena retina terlepas. Ibarat wallpaper yang terlepas dinding.
Padahal, retina merupakan salah satu bagian penting pada mata. Jaringan tipis yang menempel pada dinding bagian belakang mata itu berfungsi menangkap cahaya, mengubahnya menjadi sinyal listrik, kemudian mengirimkan informasi visual ke otak untuk diubah menjadi gambar yang kita lihat.
dr. Noviana Kurniasari Vivin, Sp.M, dokter spesialis vitreo-retina RS Mata Undaan Surabaya, menjelaskan bahwa saat retina terlepas, maka fungsinya jadi tidak sempurna lagi.
“Retina itu ada berlapis-lapis. Saat retina itu lepas dari dinding bola mata, fungsinya pun jadi tidak sempurna lagi,” ujar dokter yang akrab dipanggil Vivin itu saat ditemui Nyata.
| Baca Juga : Mata Kering Bisa Jadi Alarm Awal Autoimun
Saat terjadi ablasio retina, pasien akan mengeluhkan gejala penurunan penglihatan. Seperti muncul floaters, yakni bayangan hitam yang melayang, atau kilatan cahaya. “Ada yang bilang bayangannya seperti bintik-bintik atau rambut-rambut,” kata dr. Vivin.
Namun, jika kondisi retina yang lepas semakin luas, maka semakin menurun juga penglihatan pasien. Pandangan menjadi tertutup sebagian, seperti tertutup tirai. Ada juga yang hanya bisa melihat jelas dari satu sisi tertentu.
Jika gejala seperti itu terus dibiarkan, maka area retina yang terlepas akan semakin luas dan bisa berujung pada kebutaan. “Retina kalau terlepas, dia tidak bisa mendapatkan nutrisi. Akhirnya sel-selnya mati dan tidak berfungsi lagi,” jelas dr. Vivin.
Ablasio retina sering kali dikaitkan dengan orang-orang yang matanya minus. Namun, tidak semua mata minus berisiko tinggi mengalami ablasio retina. Mereka yang memiliki minus lebih dari -3 harus lebih waspada.
| Baca Juga : Berkaca dari Dewi Yull, Lakukan Kebiasaan ini Agar Terhindar Ablasio Retina
Perlu pemeriksaan setidaknya satu tahun sekali untuk memastikan tidak ada masalah pada retina. Perlu diketahui, semakin tinggi minus, maka bola mata akan menjadi semakin lonjong. Hal itu membuat retina ikut meregang dan bisa menyebabkan robekan, lalu terlepas.

Selain mata minus, orang dengan riwayat trauma kepala seperti benturan, pernah mengalami pukulan di daerah wajah, serta olahraga atau kegiatan angkat beban, juga lebih rentan mengalami ablasio retina.
“Memang angkat beban tidak bisa dikatakan menjadi salah satu faktor penyebab ablasio retina. Tapi dari beberapa pasien banyak yang pekerjaannya sering mengangkat beban berat,” tutur dr. Vivin. Jika setelah angkat beban muncul gejala, maka harus segera diperiksakan.
Namun, ablasio retina juga bisa terjadi kepada seseorang yang tidak memiliki mata minus. “Bisa juga terjadi karena vitreous, gel yang dalam bola mata kita mengalami penuaan dini sehingga menarik retina hingga robek,” ujar dokter lulusan Fakultas Kedokteran (FK) Unair itu.
| Baca Juga : Screen Time Berlebihan Picu Gangguan Mental dan Fisik Anak
Ablasio retina juga bisa terjadi pada anak-anak. dr. Vivin pernah menangani kasus ablasio retina pada anak berusia 10 tahun. Salah satu kasus yang paling sulit menurutnya.
“Semakin muda, justru semakin sulit operasinya karena cairan vitreousnya itu masih kental dan lengket banget. Sehingga sulit untuk dibersihkan” kenangnya. “Selain itu, reaksi radang pada anak itu jauh lebih hebat,” lanjutnya.
Untuk menempelkan kembali retina si anak, diperlukan dua kali prosedur operasi. Dari dalam, yakni vitrektomi yang bertujuan memberikan tamponade yang memberikan tekanan pada mata, sehingga retina yang sudah diperbaiki bisa menempel kembali.
Serta dari luar, yakni encircling scleral buckle atau pemasangan pita silikon mengelilingi bagian luar bola mata untuk menekan dinding mata ke dalam.
| Baca Juga : Anak Muda Waspada Retinopati Diabetik, Diabetes Bisa Berujung Kebutaan
Dijelaskan lebih lanjut oleh dr. Vivin, ablasio retina pada anak-anak sebenarnya jarang terjadi. Data dari RS Mata Undaan Surabaya menunjukkan, sepanjang Januari hingga Juli 2025 jumlah pasien ablasio retina didominasi dari kalangan usia 55-64 tahun sebanyak 80 kasus. Disusul kalangan usia 45-54 sebanyak 61 kasus.
Namun, dalam kasus pasien anak yang ditangani dr. Vivin, anak itu mengalami ablasio retina karena mata minus tinggi. Padahal, orangtuanya tidak memiliki riwayat mata minus.
“Waktu periksa karena ada keluhan penglihatan, baru ketahuan anaknya minus tinggi dan kondisi retinanya sudah lepas,” kisahnya.
Memang, penyebab paling dominan seseorang bisa mengalami mata minus adalah faktor genetik. Namun, belakangan ini juga dipengaruhi lifestyle. Apalagi anak-anak zaman sekarang sering terpapar gadget.
| Baca Juga : Seminggu Tidak Dicuci, Sarung Bantal Bisa Picu Penyakit Ini
“Anak-anak sekarang tidak bisa lepas dari gadget. Jarang sekali aktivitas keluar. Itu yang membuat minusnya jadi cepat bertambah,” ucap dr. Vivin.
Oleh karena itu, orangtua harus memperhatikan betul penggunaan gadget pada anak. Pastikan anak tidak menatap layar dalam jarak terlalu dekat. Setidaknya beri jarak 50-70 cm.
Terapkan aturan 20-20-20. Setiap 20 menit, berhenti sejenak dan lihat objek yang berjarak 20 kaki (sekitar 6 meter) selama 20 detik. Aturan-aturan tersebut bukan hanya berlaku pada anak, tapi juga orang dewasa.
Selain itu, dr. Vivin juga meminta kepada orangtua yang anaknya mengalami mata minus sejak kecil untuk melakukan pemeriksaan rutin setiap tahun. Gunanya agar mengetahui pertambahan minus, sehingga bisa diberikan kacamata dengan ukuran yang sesuai.
“Semakin anak tumbuh besar, bola matanya juga semakin besar. Minusnya pun bisa ikut membesar. Itu wajar,” jelas dr. Vivin.
| Baca Juga : Mengenal Panic Attack: Mendadak Terkenal Bisa Jadi Pemicu
Dia juga menyinggung soal mitos, kacamata kalau semakin sering dipakai justru membuat minus bertambah.
“Justru kalau nggak pakai kacamata, anak bisa mengalami mata malas karena tidak terbiasa melihat dengan normal,” paparnya.
Mata malas atau ambliopia adalah gangguan penglihatan akibat otak tidak menerima rangsangan atau sinyal yang normal dari mata. Kondisi itu bisa disembuhkan jika ditangani sedini mungkin. “Tapi kalau anak sudah dewasa, sudah nggak bisa diobati,” tutur dr. Vivin. (*)